Kehidupan pernikahan kami menurutku baik-baik saja. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Arya tampak baik dan lebih menuruti apa mauku.
Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi kekantornya bekerja hingga larut malam bahkan terkadang baru pulang kerumah pada saatnya shalat subuh. Sesampainya dirumah, biasanya dia langsung mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Terkadang aku berfikir dia sangat workaholic.
Setiap hari ia menciumku maksimal dua kali sehari, yaitu disaat pagi menjelang ia berangkat kerja, dan saat dia pulang kerja, itupun kalau aku masih bangun. Aku berfikir hal ini wajar karena pada masa pacaran dulu, dia tidak pernah romantis, sempat aku berfikir dia bukanlah seseorang yang bisa bersikap romantis, malah mungkin hal seperti itu baginya terlalu biasa.
Semenjak menikah, kami mulai jarang ngobrol sampai malam, jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluarpun hampir tidak pernah. Pernah beberapa kali kami makan di meja makan berdua, mungkin bagi pasangan lain itu adalah waktu yang tepat untuk sharing dan mengobrol dengan pasangan masing-masing. Tapi yang terjadi adalah kami berdua sibuk dengan sendok dan garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.
Kalau hari libur tiba, dia lebih sering hanya tiduran dikamar, atau bermain dengan anak-anak kami, bahkan dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.
Aku selalu mengira rumah tangga kami baik-baik saja seperti rumah tangga pada umumnya. Karena selama 8 tahun pernikahan kami, semua tampak normal dimataku. Sampai pada hari yang terik itu, suamiku terbaring lemas di ranjang salah satu rumah sakit ternama ibukota. Kata dokter yang merawatnya, ia terkena penyakit Typhoid (tipus) karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan dirumah. Penyakitnya itu membuatnya harus dirawat di rumah sakit, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Tak lama setelah itu aku pun kembali menuju ruang ICU, tempat suamiku dirawat. Terlihat seorang perempuan datang menjenguknya, ketika aku baru saja sampai disana. Wanita itu memperkenalkan diri, dia bernama Rara, teman lama Arya semasa kuliah dulu.
Rara memang tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika kedua matanya dapat berbicara dan memancarkan cahaya, seakan-akan waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat-kalimatnya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki-laki maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.
Rara tidak pernah kenal dekat dengan Arya selama mereka kuliah dulu, Rara bercerita Arya sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. Lima bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Rara yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Arya yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja..
Aku mulai mengingat-ngingat perlahan. Yah, aku ingat, lima bulan lalu ada sebuah perubahan yang cukup drastis pada diri suamiku, Arya, hampir setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari tiga kali. Bahkan dia membelikan aku sebuah parfum keluaran terbaru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi disaat lain, dia sering termenung didepan komputernya. Malah terkadang ia terlihat bingung sambil memegang handphonenya, seakan menunggu sesuatu. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.
Suatu saat Rara pernah datang pada saat Arya sakit dan masih dirawat di rumah sakit. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Arya tidak juga mau aku suapi. Rara masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,
“Hai Rise, apakabar? Wah tampaknya anak sulungmu yang nomor satu ini masih tidak mau makan juga? Uhh… Dasar anak nakal, sini piringnya Ris, akan ku coba memberinya makan”ujarnya sambil meminta piring yang ada di tanganku. Aku pun memberikannya pada Rara, lalu dia terus mengajak Arya bercerita sambil tangannya menyuapi Arya, hingga sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Aku tampak tidak percaya lagi saat kulihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, bahkan tidak pernah sedetikpun ada tatapan itu ketika aku dan dia bersama! Huh!
Hatiku lebih terasa sakit, lebih sakit dari saat dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku ketika aku memeluknya dan berharap dia memelukku kembali. Rasa ini lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar yang aku jalani ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah. Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang kerumah saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Bahkan rasa ini lebih sakit dari rasa cemburuku ketika dia lebih sering menyentuh komputer dan berkas kantornya dibanding aku, istrinya.
Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat wanita bermata indah itu. Rara begitu manis, bahkan sangat sangat manis. Dia bisa hadir tiba-tiba, membawakan donat buat anak-anakku, dan membawakan makanan kesukaanku, ekrol. Pernah dia mengajakku jalan-jalan keluar bersama untuk nonton film di bioskop. Pernah juga dia datang bersama suami dan kedua anaknya yang sangat lucu-lucu.
Aku tidak pernah bertanya padanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? Karena sepertinya tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang selama ini terus bergejolak dihatinya.
Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta, aku tidak pernah menyangka, hatikupun akan mendung, bahkan bukan lagi gerimis yang datang tetapi sudah hujan kemudian.
Sore itu, anak sulungku, Andari, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya sedang asyik bermain komputer ayahnya dan dia berhasil membuka password email ayahnya. Wajahnya sempat berkerut lalu tak lama ia pun memanggilku, “Bunda, apakah Bunda mau melihat surat Ayah buat Tante Rara, Bun?”tanyanya polos ketika aku berdiri menghampirinya dibalik komputer tersebut.
Aku tertegun memandangnya, dan mulai membaca surat elektronik itu.
Dear Rara,
Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rise, istriku. Aku mencintai Rise karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak-anakku.
Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh-sungguh mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik-konflik terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.
Aku sendiri pun tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon-pohon beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan-hutan belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.
Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki-laki yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rise bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi dia tidak akan pernah dapat merenggut jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.
totally yours,
Arya
Mataku terasa panas ketika membaca kata demi kata yang tercetak jelas dan tampak pada komputer tersebut. Anak sulungku, Andari memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.
Suamiku tidak pernah mencintaiku. Bahkan dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.
Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan diamplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, namun tidak pernah aku berikan untuknya..
Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa-sisa uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak-anakku. Memang Arya merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam-macam merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan semua teman-temanku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.
Aku merasa betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku dari dulu? Itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku..
Kuliahat Arya akhir-akhir ini terus menerus sakit-sakitan, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus didalam hatinya. Dengan pura-pura tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Arya adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.
—————————————————————————————————————————————————————————————————-
Setahun kemudian…
Disebuah taman pemakaman umum, tampak seorang wanita sedang membuka beberapa amplop surat dan matanya mulai berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.
Hai Arya, suamiku….
Apakabar sayang? Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja dikantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya. Aku bahkan terlalu sering marah, ketika kamu asyik bekerja dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa diatas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku. Aku bahkan berpikir, aku adalah si puteri cantik yang diinginkan banyak pria ini telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku…..
Ternyata aku keliru, Ya. Aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantormu dulu yang aku tahu sebenarnya kamu sangat menyukainya..
Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, “kenapa, Rise? Kenapa kamu mesti cemburu? Dia sudah menikah, dan tidakkah kau sadar aku telah memilihmu menjadi istriku?”
Aku tidak perduli, dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.
Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Karena ternyata engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan.
Istrimu yang selalu mencintaimu,
Rima
Tangan wanita ityu perlahan kembali membuka amplop lainnya, amplop itu bergambar hati dan kertas suratnya bergambar merah jambu.
“Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es di kutub. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Rara……”
Surat demi surat, wanita itu keluarkan dari setiap amplop yang ada. Air matanya tidak lagi terbendung, dia sudah tidak dapat menyeka air matanya sendiri dengan sebuah tissue yang selalu ada di dalam tasnya.
Hai suamiku, aku telah bersumpah akan membuatmu jatuh cinta padaku.
Tidak kah kau sadar, Ya? Aku telah berubah, Arya. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah-marah padamu, aku tidak lagi suka membanting-banting barang-barang di rumah dan berteriak jika emosi. Bahkan aku mulai belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan selalu menabung walaupun hanya sekedar sisa uang belanja yang kau berikan padaku. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang kerumah. Dan aku selalu meneleponmu, hanya untuk menanyakan, “sudahkah kekasih hatiku yang kusayang ini makan siang hari ini?”. Aku berjanji akan selalu merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, dirumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah.
Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya, Arya 🙂 .
Wanita itu adalah Rara, tangannya bergerak menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya, dipeluknya Andari yang sudah duduk tersedu-sedu disampingnya.
Hingga ini adalah surat terakhir, dan surat ini seperti baru ditulis pagi ini…
Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kita yang ke-9. Happy Anniversary for Our Family. Tahun lalu engkau tidak pulang kerumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya dirumah Oma Ajeng, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor.
Saat aku tiba dirumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.
Tahukah engkau suamiku,
Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu terpancar dari kedua matamu, dan sinar itu untukku. Inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu?
Andari mulai menarik nafas dan menatap Rara, lalu mulai bercerita,
“Siang itu Bunda menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah-marah kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Bunda memarkir motornya diseberang jalan. Dan ketika Bunda sedang menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah mobil lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi. Aku tidak sanggup melihatnya terlontar, Tante. Aku melihatnya masih memandangku sebelum dia benar-benar tidak lagi bergerak……”.
Andari memeluk Rara dan terisak di dalam pelukan wanita tersebut. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa.
Rara mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Arya mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rise membacanya.
Dear Rara sahabatku,
Selama setahun ini aku mulai merasakan Rise berbeda, dia tidak lagi pernah marah-marah dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba-tiba aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar, Ra. Inikah tanda-tanda aku mulai mencintainya?
Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Rara. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak-anakku, tapi karena dia adalah belahan jiwaku. Seseorang yang saat ini sangat ingin aku jaga dan aku belai hingga ajal memisahkan kami.
Regards,
Arya.
Rara menatap Arya yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan istrinya, Rise. Diwajahnya tampak sebuah duka yang sangat dalam. Namun sayang, semuanya telah terjadi.
Terkadang kita memang baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.
Semoga cerita pendek ini bisa membuka semua mata orang yang membacanya. Sebenarnya cerita ini tidak hanya untuk seorang Ayah dan Bunda. Tapi juga untuk semua kalangan yang sudah mulai berfikir jernih dan membuka matanya untuk kehidupan yang sebenarnya.
Regards, Blue! ❤